Dari dulunya program S2 harus menempuh 72 SKS, kemudian berjalan menjadi 44 SKS, sekarang cukup hanya 36 SKS," katanya saat meresmikan kampus baru Universitas PGRI Semarang (Upgris), Sabtu (23/1/2016).
Dikutip dari Antarta, Mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang (Undip) itu menjelaskan perubahan SKS minimal untuk pendidikan S2 itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi lulusan perguruan tinggi.
Menurut dia, program S2 ditujukan untuk menghasilkan lulusan yang secara eksperimen dan empirik mampu menerapkan metodologi-metodologi yang baik sesuai dengan bidang ilmunya masing-masing.
"Kemudian, bagaimana lulusan S2 mampu mempublikasikan hasilnya itu di jurnal yang terakreditasi maupun jurnal internasional. Itu yang penting. 'Output'-nya memang menuju ke sana," katanya, Maka dari itu, kata dia, proses pembelajaran yang harus ditempuh untuk program S2 tidak harus sampai 72 SKS karena sesuai dengan standar minimal sebanyak 36 SKS saja sebenarnya sudah cukup.
"Manakala itu (36 SKS, red.) sudah cukup, mengapa harus diperbanyak? Justru akan memberikan beban dan menurunkan semangat perguruan tinggi untuk berkompetisi dan bersaing," katanya.
Nasir mempersilakan seluruh perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki program S2 untuk memberlakukan kebijakan 36 SKS mulai sekarang sehingga kualitas SDM dan lulusannya bisa semakin berkembang.
"Sebenarnya bukan memperpendek SKS, bukan itu. Saya hanya ingin jumlah SKS tidak terlalu banyak, namun substansinya yang penting harus tetap dijaga untuk mencapai kualitas," katanya.
Bagi perguruan tinggi yang ingin menerapkan minimal 44 SKS, 50 SKS, atau 60 SKS, ia mempersilakan, tetapi dengan 36 SKS sudah cukup untuk mengembangkan SDM dan lulusan dengan kualitas yang baik.
Demikian pula untuk program S3 atau doktor yang jumlah SKS-nya juga dikurangi, ia mengatakan saat ini untuk menempuh program doktor cukup 42 SKS, tidak lagi seperti sebelumnya sebanyak 72 SKS.
"Doktor juga cukup 42 SKS, bukan lagi 72 SKS. Tujuan doktor, di samping menguasai filosofi sains atau filsafat keilmuan di bidang ilmunya masing-masing, kan juga untuk 'output' publikasinya," katanya.
Publikasi riset yang dilakukan doktor, kata dia, harus di jurnal internasional yang memiliki reputasi yang sementara ini boleh satu publikasi, namun ke depannya minimal harus dua publikasi. [tar]
Dikutip dari Antarta, Mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang (Undip) itu menjelaskan perubahan SKS minimal untuk pendidikan S2 itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi lulusan perguruan tinggi.
Menurut dia, program S2 ditujukan untuk menghasilkan lulusan yang secara eksperimen dan empirik mampu menerapkan metodologi-metodologi yang baik sesuai dengan bidang ilmunya masing-masing.
"Kemudian, bagaimana lulusan S2 mampu mempublikasikan hasilnya itu di jurnal yang terakreditasi maupun jurnal internasional. Itu yang penting. 'Output'-nya memang menuju ke sana," katanya, Maka dari itu, kata dia, proses pembelajaran yang harus ditempuh untuk program S2 tidak harus sampai 72 SKS karena sesuai dengan standar minimal sebanyak 36 SKS saja sebenarnya sudah cukup.
"Manakala itu (36 SKS, red.) sudah cukup, mengapa harus diperbanyak? Justru akan memberikan beban dan menurunkan semangat perguruan tinggi untuk berkompetisi dan bersaing," katanya.
Nasir mempersilakan seluruh perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki program S2 untuk memberlakukan kebijakan 36 SKS mulai sekarang sehingga kualitas SDM dan lulusannya bisa semakin berkembang.
"Sebenarnya bukan memperpendek SKS, bukan itu. Saya hanya ingin jumlah SKS tidak terlalu banyak, namun substansinya yang penting harus tetap dijaga untuk mencapai kualitas," katanya.
Bagi perguruan tinggi yang ingin menerapkan minimal 44 SKS, 50 SKS, atau 60 SKS, ia mempersilakan, tetapi dengan 36 SKS sudah cukup untuk mengembangkan SDM dan lulusan dengan kualitas yang baik.
Demikian pula untuk program S3 atau doktor yang jumlah SKS-nya juga dikurangi, ia mengatakan saat ini untuk menempuh program doktor cukup 42 SKS, tidak lagi seperti sebelumnya sebanyak 72 SKS.
"Doktor juga cukup 42 SKS, bukan lagi 72 SKS. Tujuan doktor, di samping menguasai filosofi sains atau filsafat keilmuan di bidang ilmunya masing-masing, kan juga untuk 'output' publikasinya," katanya.
Publikasi riset yang dilakukan doktor, kata dia, harus di jurnal internasional yang memiliki reputasi yang sementara ini boleh satu publikasi, namun ke depannya minimal harus dua publikasi. [tar]
Silahkan Lihat Videonya Di bawah:
loading...
loading...