Education is the most powerful weapon which you can use to change the world. (Nelson Mandela)
Pernah baca quote di atas? Pasti pernah. Ya, itu adalah salah satu kutipan kalimat yang pernah diucapkan oleh (Alm.) Nelson Mandela, seorang mantan Presiden Afrika Selatan, namun beliau lebih dikenal sebagai salah satu Pejuang Persamaan Hak dari Politik Apartheid. Beliau memperjuangkan nasib kaum kulit hitam untuk mendapatkan hak yang sama dengan kaum kulit putih, salah satunya adalah untuk mendapatkan pendidikan. Kenapa pendidikan, karena beliau yakin, bahwa pendidikan bisa mengubah nasib seseorang, bahkan dunia. Keren ya
Saya setuju. Sebagai perumpamaan, seorang yang punya alat pancing tapi tidak tau bagaimana cara menggunakan alat pancing itu, dia tidak akan pernah mendapatkan ikan. Makanya, dia perlu diubah, daritidak tau menjadi tau. Setelah itu, dia akan bisa menggunakan alat pancingnya, dan bisa mendapatkan ikan. Nah, proses mengubah dari tidak tau menjadi tau itu tadi yang dinamakan Pendidikan. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya jika para penguasa di negeri ini tau bagaimana cara membuat Indonesia menjadi negara yang makmur, adil, dan sejahtera secara merata? Wah besar sekali dampaknya, banyak anak-anak kecil bisa mengenyam bangku sekolah, petani sejahtera, buruh mendapatkan gaji yang cukup (biar gak ada oknumnya yang demo terus tiap tahun hehe), pangan berkecukupan, jaminan kesehatan untuk semua lapisan masyarakat tersedia, dan lain sebagainya. Ya, itulah mengapa Nelson Mandela mengatakan, Pendidikan bisa mengubah Dunia.
Oke stop bicara filsafat, kita masuk ke inti dari artikel ini. Lalu, apa hubungannya pendidikan dengan mahasiswa S1, S2, dan S3?. Mahasiswa (entah itu S1, S2, dan S3) adalah bagian dari proses pendidikan. Seringkali, masih jamak saya temukan pendapat dari orang di sekitar saya yang bertanya “buat apa lanjut S2? Mau jadi dosen?” atau “ente mau S3? Mau jadi propesor? Buat apa cuy, ngabisin duit…mending kerja aja, dapet uang, trus kawin”. Oke, gak salah kok. Itu pendapat mereka. Di Indonesia (karena yang saya tahu hanya di Indonesia :hammer), pekerjaan formal yang layak sudah bisa diperoleh asal sudah lulus Sekolah Menengah atau S1 (saya gak mau bahas lulusan dibawahnya untuk lebih memfokuskan topik artikel ini, gak ada maksud merendahkan atau yang lain, saya sangat menghargai hidup orang lain). Makanya, gak heran kalau ada opini seperti tadi. Seperti yang saya tulis di artikel saya yang sebelumnya, “Hidup itu Pilihan”. Ya, dan sah-sah saja orang memilih untuk kuliah S1 saja, lanjut S2/S3. Setiap orang punya tujuan dan pertimbangan masing-masing.
Namun, di sini saya ingin mengungkapkan pendapat saya mengenai perbedaan antara mahasiswa S1, S2, dan S3. Indikatornya? Jelas bukan dari tugas akhir yang ditulis, karena saya tidak pernah menjadi penguji tugas akhir mahasiswa, soalnya saya sendiri masih mahasiswa :D. Saya akan menggunakan acuan tujuan studi dan pola pikir (secara umum) sebagai indikator perbedaannya, seperti yang saya kembangkan dari hasil membaca artikel Ikatan Mahasiswa Teknik Industri UI.
Mahasiswa S1 – Generalist
Kenapa saya sebut generalis? Karena mahasiswa S1 (seperti saya dulu) mempelajari hal-hal yang umum dari suatu mata kuliah. Seperti yang saya alami dulu, saya harus mengambil campuran mata kuliah (eksakta dan sosial) yang sangat banyak dan membuat jenuh haha :D. Mahasiswa S1 cenderung diharuskan mempelajari, (minimal) dasar dari setiap mata kuliah. Tujuannya 1) Bekal untuk riset skripsi 2) Bekal ilmu untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan background pendidikannya, misalnya lulusan S1 Teknik Industri akan bekerja di sektor industri, dll.
Mahasiswa S1 masih dianggap “belajar” dalam melakukan riset (meskipun kadang ada juga mahasiswa yang bisa menghasilkan karya tulia ilmiah lebih bagus dari dosen :D). Oleh karena itu, meskipun ada kesalahan dalam risetnya, asal tidak fatal, dosen akan memaklumi dan meluluskannya. Selain itu, dalam dunia kerja, (kecuali lulusan prodi profesi seperti kedokteran) lulusan S1 dituntut untuk bisa berpikir secara general, karena tidak ada kepastian bahwa dia akan mendapat pekerjaan yang sesuai dengan backgroundpendidikannya. So, oleh karena itu, saya menyebutnya Generalist.
Mahasiswa S2 – Specialist
Menjadi mahasiswa S2 beda lagi, karena sifatnya adalah memperdalam pengetahuan tentang mata kuliah yang diajarkan di S1. Therefore, Mahasiswa S2 dianggap specialist karena dia khusus mendalami bidang pengetahuan tertentu, atau bisa dikatakan (seharusnya) tingkat mahir. Makanya lulusan S2 disebut Master of Science (MSc). Dalam risetnya, mahasiswa S2 juga fokus pada satu kajian permasalahan yang khusus sesuai dengan bidang pengetahuannya dan sudah tidak dianggap “masih belajar” lagi oleh dosen, mahasiswa benar-benar dituntut untuk secara baik dan benar dalam melakukan riset, kemudian mempertanggungjawabkan hasilnya. Selanjutnya, di dunia kerja, jamak ditemukan lulusan S2 yang bekerja sebagai dosen atau peneliti, meskipun di negara kita ini masih juga ada dosen yang “masih” lulusan S1. Karena memang Dikti mensyaratkan tenaga pengajar pendidikan tinggi atau peneliti untuk menggunakan orang yang sudah bergelar Magister atau (bahkan) Doktor. Namun, seperti biasa, semua hal bisa terjadi, ada juga lulusan S2 yang bekerja sebagai karyawan swasta. Namun kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa lulusan S2 sudah harus menguasai bidang pengetahuan yang menjadi fokus studinya, sehingga saya menyebautnya sebagai specialist.
Mahasiswa S3 – Inventor
Di S3, tidak ada kuliah di kelas. Enak? Belum tentu. Mahasiswa S3 yang merupakan calon Doktor hanya fokus pada risetnya saja. Sering saya temukan informasi dari kenalan saya atau pun dari internet, kebanyakan mahasiswa S3, sebelum mendaftar kuliah, harus mempunyai calon profesor pembimbing riset, dan karena (biasanya) si profesor ini punya riset-riset yang mau dilakukan, maka dia menjadikan mahasiswa S3 bimbingannya sebagai orang yang membantu risetnya (bukan pembantu lho ya), sekaligus bisa menjadi riset untuk disertasinya. Namun ada juga, calon mahasiswa S3 yang mempunyai proposal riset sendiri dan mencari profesor pembimbing yang memiliki bidang/topik penelitian yang sama.
Mahasiswa S3 dituntut untuk menemukan metode penyelesaian masalah yang baru dari permasalahan yang dia pilih atau temukan di masyarakat. Seringkali, ide risetnya ini berangkat dari hipotesa-hipotesa untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Dan karena mahasiswa S3 harus menemukan metode baru, saya menyebut mereka sebagai inventor.
Potret Lulusan Saat Ini – Pandangan dari Kacamata Pribadi Saya (mungkin) Yang Jarang Diungkap
Jika kita mengacu pada acuan yang saya gunakan untuk menjabarkan perbedaan antara mahasiswa S1, S2, dan S3, yaitu tujuan studi dan pola pikir, maka idealnya adalah kualitas lulusan S1 < kualitas lulusan S2 < kualitas lulusan S3. Itu kalau kita bicara soal kualitas dilihat dari kaca mata akademik. Namun, ketika kita bicara konsep kualitas secara lebih luas, yang menurut saya lebih penting, saya bisa mengatakan bahwa belum tentu seperti itu.
Oke, saya setuju bahwa S1 hanya mempelajari hal yang umum dan dasar. Tapi ketika kita bicara soal aplikasi ilmu, belum tentu yang S2/S3 lebih baik dari S1. Contoh mudah, sama-sama pernah mengambil mata kuliah Kewirausahaan, tentu level aplikasi di kehidupan nyata akan berbeda. Bukankah sudah banyak kita dengar/baca berita atau bahkan kenalan kita sendiri, yang seorang lulusan/masih S1, sudah menjadi wirausahawan yang sukses. Sedangkan lulusan S2 yang seharusnya lebih dalam pengetahuannya mengenai ilmu kewirausahaan, malah bekerja sebagai staf di perusahaan swasta. Jadi, konsep idelaitas mengenai perbedaan kualitas tadi belum tentu benar ‘kan?
Yang kedua, soal attitude atau perilaku. S1 dikatakan “masih belajar” soal riset. Ya, saya juga setuju, karena sistem pendidikan di Indonesia, secara umum, memang baru mengenalkan riset pada jenjang penguruan tinggi. Namun, pernahkah mendengar/membaca berita kalau ada oknum pengajar di perguruan tinggi (PT) Anda atau PT lain yang melakukan plagiarisme karya ilmiah? Atau bisa cari data di google mengenai tingkat plagiarisme di Indonesia yang dilakukan “para oknum tersebut”. Kalau masih mahasiswa S1, saya rasa rasio plagiarismenya jauh lebih kecil karena mereka baru belajar membuat riset, dan mereka pasti hanya diajari mengutip sebagian karya ilmiah orang lain (mengutip = mencantumkan nama penulis aslinya). Namun, apa yang dilakukan “para oknum pengajar” itu, plagiarisme, dan mereka sudah “mearasa bisa” mengatakan bahwa mahasiwa S1 masih belajar melakukan riset. Lalu siapa sebenarnya yang lebih bisa melakukan riset dengan baik dan benar?.
Pro dan Kontra, saya anggap wajar
Sebenarnya masih ada hal lain yang bisa saya ungkapkan mengenai konsep perbedaan kualitas antar level mahasiswa tersebut. Dan saya yakin, tulisan saya ini (khususnya 2 paragraf terakhir) pasti ada yang setuju dan tidak setuju, saya anggap itu hal yang wajar. Namanya juga pendapat pribadi
Tidak ada maksud untuk merendahkan salah satu bidang pekerjaan atau level lulusan, karena di sini saya hanya membahas perbedaan berdasarkan acuan dari sudut pandang sistem pendidikan perguruan tinggi.
Semuanya adalah pilihan hidup masing-masing orang, tapi saya yakin setiap orang bisa memilih apa yang terbaik untuk hidupnya, namun yang membedakan hanyalah tindakan kita dalam mendapatkan pilihan terbaik itu.
Silahkan Lihat Videonya Di bawah:
loading...
loading...